Pangan Darurat

Pedihnya tertimpa bencana tidak hanya karena kehilangan harta benda atau nyawa anggota keluarga, tetapi juga sebab hidup terlunta-lunta di tenda pengungsian sementara. Nasib tidak menentu hingga harus tergantung pada uluran tangan sesama. Dalam kondisi seperti ini tentu saja hanya simpati dan solidaritas sesama yang mampu menguatkan jiwa-jiwa manusia yang sedang terguncang ini. Meskipun, ada saja segelintir anak bangsa lain yang tega memancing di air keruh, mengambil keuntungan sesaat dari penderitaan sesamanya. Beruntung bangsa ini juga cukup teruji dalam hal berbagi dan tolong menolong, sehingga banyak sekali kekosongan negara dalam mengurus bencana ini bisa terisi dan tertutupi oleh inisiatif segenap anak bangsa yang dengan sigap dan tanggap ikut turun tangan mengambil bagian.

Terkait erat dengan proses penanganan para korban bencana di tanah air, fenomena yang menarik untuk dikaji ulang adalah menyangkut berbagai jenis bahan bantuan untuk para korban. Nampaknya bentuk-bentuk bantuan ini, khususnya yang berupa bahan pangan, belum memiliki inovasi yang menggembirakan. Tengok saja bantuan pangan yang selama ini diberikan paling banyak berupa mi instan, air mineral, roti, dan nasi bungkus. Untuk para bayi biasanya berupa susu, bubur bayi, dan biskuit. Berbagai bentuk makanan yang dikatakan siap saji tersebut ternyata di lapangan mendapatkan respon yang kurang baik. Terutama karena tidak se-praktis atau se-instan yang dibayangkan. Misalnya untuk memasak mi instan, bubur bayi, dan susu dibutuhkan pasokan air bersih yang cukup. Padahal jika bencana yang terjadi berupa banjir seperti saat ini, air bersih menjadi barang yang langka.



Ditambah dengan banyaknya bentuk bantuan yang serupa jenisnya, para korban atau pengungsi harus berhari-hari mengonsumsi bahan makanan yang sama. Dapat dibayangkan kesulitan berikutnya yang dihadapi jika selama berhari-hari pengungsi terus menerus makan mi instan, yang terjadi adalah banyak korban yang sakit perut dan bahkan menderita kekurangan gizi. Mungkin kita dapat berlindung dibawah status darurat bencana untuk mengatakan bahwa berbagai jenis bantuan ini sudah lebih baik daripada tidak dibantu sama sekali. Ya benar! tetapi apakah tidak ada terobosan lain yang lebih praktis selain memberikan mi instan atau nasi bungkus yang cepat basi itu? Apakah tidak ada inovasi teknologi pangan yang mampu menggantikan konsep dapur umum yang selama ini selalu menjadi andalan tatkala bencana melanda?

Dapur Umum vs Dapur Khusus

Dapur umum selama ini menjadi konsep atau pilar utama dalam penyaluran bantuan bagi para korban bencana. Selain menjadi penyedia utama kebutuhan makanan, dapur umum bisa sekaligus menjadi posko dan pusat koordinasi relawan, tempat interaksi dan sosialisasi antar korban dengan relawan, seperti dari TNI, Polri, SAR, PMI, Tagana, dan lain sebagainya. Bahkan saat ini sudah ada dapur umum keliling atau yang bersifat mobile. Namun konsep dapur umum ini masih memiliki banyak kekurangan, seperti peralatan di dapur umum yang tidak terorganisir sering menghambat proses memasak, perlengkapan biasanya dibawa oleh kendaraan angkut besar yang sulit menjangkau daerah terpencil, proses perakitan tenda membutuhkan waktu lama, banyaknya antrian berebut makan pada saat pembagian, tempat cuci peralatan masak terkadang seadanya, dan menyebabkan penumpukan sampah. Artinya, dilihat dari segi kepraktisan dan daya jangkau dapur ini dirasakan masih sangat kurang. Oleh karena itu, mutlak diperlukan inovasi pangan yang benar-benar memenuhi konsep siap saji dalam arti sebenarnya, tanpa mengurangi nilai kecukupan gizi dan kelayakan yang diperlukan oleh para korban. Dalam konteks inilah pangan darurat yang tepat guna diperlukan.


Menurut ilmu pangan, bahan makanan disebut pangan darurat harus memenuhi beberapa kriteria, misalnya mampu memenuhi kebutuhan total 2100 Kkal/sajian, memiliki kepadatan kalori (energy density) minimum 4,66 – 5 Kkal/gram, memiliki umur simpan minimal 36 bulan pada suhu 31 derajat Celcius, Aw kurang dari 0,6 (kondisi dimana mikroorganisme tidak dapat hidup) dan dikemas dalam kemasan sekunder atau tersier yang tahan banting (misalnya jika bahan pangan tersebut dijatuhkan dari pesawat atau helikopter tidak langsung rusak). Bahan pangan darurat semacam inilah yang hanya bisa dimasak atau dibuat di dalam dapur khusus, yaitu dapur penelitian dan pengembangan teknologi pangan. Dapur khusus ini berada di lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan tempat para peneliti dan ilmuwan berjibaku dengan temuan-temuan baru. Disinilah korelasi antara hasil litbang dengan kebutuhan masyarakat seharusnya terjalin kuat, bukan justru sebaliknya.

Dalam situasi negeri darurat bencana seperti saat ini, diperlukan lebih banyak campur tangan para chef dari dapur khusus tersebut. Dapur umum tetap diperlukan dan bahkan perlu terus dibenahi dengan berbagai inovasi agar menjadi semakin praktis dan higienis, tetapi dapur khusus juga harus dipacu dan didukung penuh agar mampu menghasilkan produk-produk pangan darurat yang tepat guna. Misalnya pangan darurat sehat yang dikembangkan oleh LIPI, yaitu Food Bar berbasis pisang. Food Bar ini merupakan makanan berbentuk batangan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan energi/kalori tertentu dan dikemas dalam kemasan yang ringan dan praktis. Makanan ini siap santap tanpa perlu dimasak terlebih dahulu, karena berbentuk seperti makanan ringan (snack bars) atau cemilan.

Pangan darurat seperti Food Bar ini memang bukan hal yang benar-benar baru. Selama ini di dunia militer juga mengenal jenis-jenis pangan darurat yang biasa digunakan sebagai perbekalan ketika latihan atau perang yang biasanya disebut Meals Ready to Eat (MRE) . Biasanya dikemas dalam kaleng (Long Shelf Life Food Supply) tetapi memiliki rasa yang umumnya kurang disukai. Kelebihan food bar ini adalah dari segi rasa yang sudah memenuhi selera orang banyak. Lebih membanggakan lagi, bahan baku food bar ini seratus persen lokal, seperti pisang dan umbi-umbian. Selain itu ia juga free gluten alias non gandum. Artinya, industri pangan darurat ini sangat mungkin untuk dibangun dan dikembangkan di dalam negeri karena tidak tergantung dengan bahan baku dari luar negeri (impor).

Dengan demikian, bukan saja persoalan pangan darurat yang terpecahkan, tetapi juga dapat menjadi alternatif usaha ekonomi, baik skala kecil maupun industri besar. Skala kecil manakala setiap pemerintah daerah mampu membangun UKM Food Bar dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal di daerahnya. Menjadi industri besar manakala pemerintah atau swasta mau mengambil peran untuk memproduksinya secara massal. Dalam kondisi normal, food bar ini dapat dikonsumsi atau dipasarkan sebagai healthy snack, sedangkan dalam masa bencana melanda ia dapat menjadi stok pangan darurat. Diatas semua itu, kita sangat mendambakan bukan saja sistem tanggap darurat bencana yang terus dibangun menjadi yang terbaik di dunia, tetapi juga inovasi komponen-komponen pelengkap seperti pangan darurat untuk para korban bisa mendapatkan prioritas untuk dikembangkan (yep)